Langsung ke konten utama

RELASI MAKNA
Relasi makna atau hubungan makna adalah hubungan kemaknaan antara sebuah kata atau satuan bahasa (frase, klausa, kalimat) dengan kata atau satuan bahasa lainnya. Hubungan ini dapat berupa kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi), kelainan makna (homonimi), ketercakupan makna (hiponimi), dan meronimi ambiguitas.
1.       Sinonim
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu anoma yang berarti nama, dan syn yang berarti dengan. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti nama lain untuk benda atau hal yang sama. Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang bersinonim :bunga, kembang, dan puspa adalah tiga buah kata yang bersinonom; mati, wafat, meninggal, dan mampus adalah empat buah kata yang bersinonim.
Menurut teori Verhaar yang sama tentu adalah informasinya , padahal informasi ini bukan makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat intralingual. Atau kalau kita mengikuti teori analisis komponen yang sama adalah bagian atau unsur tertentu saja dari makna itu yang sama. Misalnya kata mati dan meninggal. Kata mati nemiliki komponen makna (1) tida bernyawa (2) dapat dikenakan terhadap apa saja ( manusia, binatang, pohon, dsb). Sedangkan meninggal memiliki komponen makna (1) tidak bernyawa. (2) hanya dikenakan pada manusia. Maka dengan demikian kata mati dan meninggal hanya bersinonim pada komponen makna (1) tidak bernyawa.Kerena itu, jelas bagi kita kalau Ali, kucing, dan pohon bisa mati; tetapi yang bisa meninggal hanya Ali. Sedangkan kucing dan pohon tidak bisa.
Ketidak mungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim adalah banyak sebabnya, Antara lain,karena ;
(1) Faktor waktu. Misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais. Sedangkan kata komandan hanya cocok untuk situasi masa kini (modern)
(2) Faktor tempat atau daerah. Misalnya kata saya dan beta adalah bersinonim. Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunakan dalan konteks pemakaian bahasa Indonesia timur (Maluku) ; sedangkan kata saya d apat digunakan secara umum di mana saja.
(3) Faktor Sosial. Misalnya kata aku dan saya adalah dua buah kata yang bersinonim; tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya yang tidak dapat digunakan kepada orang yang lebih tua atau yang status sosialnya lebih tinggi.
(4) Faktor bidang kegiatan. Misalnya kata tasawuf, kebatinan, dan mistik adalah tiga buah kata yang bersinonim. Namun kata tasawuf hanya lazim dalam agama Islam; kata kebatinan untuk yang bukan islam; dan kata mistik untuk semua agama.
(5) Faktor nuansa makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau, dan mengintip adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat memang bisa digunakan secara umum; tetapi kata melirik hanya digunakan untuk menyatakan melihat dengan sudut mata; kata melotot hanya digunakan untuk melihat dengan mata terbuka lebar: kata meninjau hanya digunakan untuk melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi; dan kata mengintip hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit.
Dalam beberapa buku pelajaran bahasa sering dikatakan bahwa sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang tepat sebab selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonim pun bukan hanya kata, tetapi juga banyak terjadiantara satuan-satuan bahasa lainnya. Perhatikan contoh berikut!
(a) Sinonim antar morfem (bebas) dengan morfem terikat, seperti antara dia dengan nya, antara saya dengan ku dalam kalimat
(1) Minta bantuan dia
Minta bantuannya
1.      Bukan teman saya
Bukan temanku
(b) Sinonim antar kata dengan kata seperti antara mati dengan meninggal: antara buruk dengan jelek.
(c) Sinoninm antara kata dengan frase atau sebaliknya. Misalnya antara meninggal dengan tutup usia:antara hamil dengan duduk perut.
(d) Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya, antara ayah ibu dengan orang tua; antara meninggal dunia dengan pulang ke rahmatullah.
(e) Sinonim antara kalimat dengan kalimat, seperti Adik menendang bola dengan Bola ditendang adik. Kedua kalimat tersebut dianggap bersinonim, yang pertama kalimat aktif dan yang kedua lalimat pasif.
Mengenai sinonim ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama tidak semuakata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim. Misalnya kata beras, salju, batu dan kuning. Kedua ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Misalnya kata benar bersinonim dengan kata betul; tetapi kata kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan. Ketiga, ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian. Misalnya kata jemur tidak mempunyai sinonim tetapi kata menjemur ada sinonimnya, yaitu mengeringkan; dan berjemur bersinonim dengan berpanas. Keempat ada kata-kata yang dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim. Misalnya kata hitam dalam makna “sebenarnya” tidak ada sinonimnya, tetapi dalam arti “kiasan” ada sinonimnya yaitu gelap, mesum, buruk, jahat dan tidak menentu.
Membicarakan masalah sinonimi sangat banyak ragamnya seperti dalam bukunya DR. Drs. I Gusti Putu Antara, M.Pd yang berjudul Semantik Bahasa Bali (Sebuah Pengantar) sesuai dengan prinsip kontiguitas menerangkan bahwa ada beberapa kata dalam bahasa memiliki makna yang sama/ mirip . Dalam hal ini akan tercangkup pengertian istilah Sinonimi atau padan kruna. Contohnya : Kata kamu sebagai kata ganti orang kedua dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Bali memilliki sinonimi dengan cai, nyai, siga,awak.
Kata rumah dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonimi (padan kruna) dengan beberapa kata bahsa Bali seperti umah,jero, pondok,puri, gria,kubu, cecanggahan. Dalam pengertian rumah dalam bahasa Bali akan tersirat adanya perbedaan rasa bahasa atau nuansa makna, yang menunjukan belum tentu makna jero sama dengan benar maknanya dengan pondok, kubu, cecanggahan  dll-nya.
2.   Antonimi dan Oposisi
Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya nama dan anti yang artinya melawan. Maka secara harfiah maka antonim berarti nama lain untuk benda lain pula. Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makan ungkapan lain. Misalnya kata bagus adalah berantonim dengan kata buruk; kata besar berantonim dengan kata kecil.
Sama halnya dengan sinonim, antonimpun terdapat pada semua tataran bahasa: tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. Dalam bahasa Indonesia untuk tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada; dalam bahasa Inggaris kita jumpai contoh thankful dengan thankless, dimana ful dan less berantonim; antara progresif dengan regresif, dimana fro dan re berantonim.
Berdasarkan sifatnya, oposisi dapat dibedakan menjadi:
2.1             Oposisi Mutlak
Di sini terdapat pertentangan makna secara mutlak. Umpamanya antara kata hidup dan mati. Antara hidup dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu yang hidup tentu tidak (belum) mati; sedangkan sesuatu yang mati tentu sudah tidak hidup lagi.
2.2             Oposisi Kutub
Makna kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata tersebut, misalnya, kata kaya dan miskin adalah dua buah kata yang beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan miskin tidak mutlak orang yang tidak kaya belum tentu meras miskin, dan begitu juga orang yang tidak miskin belum tentu merasa kaya.
Kata-kata yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif, seperti jauh-dekat, panjang-pendek, tinggi-rendah, terang-gelap, dan luas-sempit.
2.3             Oposisi Hubungan
Makna kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Umpamanya kata menjual beroposisi dengan kata membeli. Kata menjual dan membeli walaupun maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya berlaku serempak.proses menjual dan proses membeli terjadi pada waktu yang bersamaan, sehingga bisa dikatakan tak akan ada proses menjual jika tak ada proses membeli.      
Kata-kata yang beroposisi hubungan ini bisa berupa kata kerja seperti mundur-maju, pulang-pergi, pasang-surut, memberi-menerima, belajar- mengajar, dan sebagainaya. Selain itu, bisa pula berupa kata benda, seperti ayah- ibu, guru-murid, atas-bawah, utara-selatan, buruh-majikan, dan sebagainya.
2.4             Oposisi Hierarki
Makna kata-kata yang beroposisi hierarkial ini mengatakan suatu deret jenjeng atau tingkatan. Oleh karena itu kata-kata yang beroposisi hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Umpamanya kata meter beroposisi hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam deretan nama satuan yang menyatakan ukuran panjang. Kata kuintal dan ton beroposisi secara hierarkial karena keduanya berada dalam satuan ukuran yang menyatakan berat.
2.5             Oposisi Majemuk
Selama ini yang dibicarakan adalah oposisi diantara dua buah kata, seperti mati-hidup, menjual-membeli, jauh-dekat, prajurit-opsir. Namun, dalam pembedaharaan kata Indonesia ada kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari sebuah kata.
Misalnya kata berdiri bisa beroposisi dengan kata duduk, dengan kata berbaring, dengan kata berjongkok. Keadaan seperti ini lazim disebut dengan kata istilah oposisi majemuk. Contoh lain, kata diam yang dapat beroposisi dengan kata berbicara, bergerak, dan bekerja.
Membicarakan masalah antonimi sangat banyak ragamnya seperti dalam bukunya DR. Drs. I Gusti Putu Antara, M.Pd yang berjudul Semantik Bahasa Bali (Sebuah Pengantar) mengatakan adanya prinsip komplementasi ini mengandung arti bahwa makna kata yang satu dengan yang lainnya berlawanan. Prinsip berlawanan inilah disebut dengan istilah antonmi(kruna matungkalikan). Contoh dalam bahasa Bali : beneh  sudah tentu lawan katanya sebagai komplementasinya adalah kata iwang . Contoh lain dalam bahasa Bali : melah X jele, gede X cenik,Baduur X beten  dsb.
4.         Homonimi, Homofoni, Homograf
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya “nama” dan homo yang artinya “sama”. Secara rafia homonimi dapat diartikan sebagi “nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah. Dalam bukunya DR. Drs. I Gusti Putu Antara, M.Pd yang berjudul Semantik Bahasa Bali (Sebuah Pengantar) mengatakan bahwa dalam setiap bahasa akan selalu ditemukan adanya kaitan atau relasi antara sebuah kata memiliki makna yang berbeda atau kata – kata yang sama bunyinya akan tetapi memilki makna yang berbeda hala tersebut merupakan prinsip overlaping yang diistilahkan dengan homonimi.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk homonimi, yaitu:
1.      bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau diales yang berlainan.
2.      bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologi.
Hominimi dan sinonimi dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
1. Homonimi antar morfem, tentunya terjadi antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya.
2. homonimi antar kata, terjadi antara sebuah kata dengan kata lainnya. Misalnya antara kata bisa yang berarti “racun ular”dan kata bisa yang berarti “sanggup”, atau “dapat”.
3. homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti “perasaan cinta dari seorang anak lepada ibunnya” dan frase cinta anak yang berarti “cinta kepada anak dari seorang ibu”.
4. homonimi antar kalimat, misalnya antara Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti “lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik”, atau “lurah itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik”.
Disamping homonimi ada pula istilah homofoni dan homogfari. Homofoni dilihat dari segi pelafalan sama tetapi maknanya berbeda contoh: masa (waktu,lama) berhomofoni dengan massa (jumlah besar yang menjadi satu kesatuan). Homograf dilihat dari segi kata – kata yang tulisannya sama tetapi maknanya berbeda. Contoh : tahu (makanan) berhomografi dengan tahu (paham) begitu juga dengan kata buku (kitab)berhomografi dengan buku (pertemuan dua ruas).
Homofoni sebetulnya sama saja dengan homonimi karena realisasi bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi. Namun, dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon tetapi ditulis dengan ejan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna.
5.         Hiponimi dan Hipernimi
Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hypo berarti “di bawah’. Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara semantik, Verhaar (1978: 137) menyatakan hiponim adalah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.
Kalau relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah, maka relasi anatar dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial berada di atasnya. Konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda tapi agak sukar pada kata verja atau kata sifat.
Dalam istilah lain Hiponimi  adalah relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generik, seperti makna Anggrek dalam makna Bunga . Makna Kucing  dalam makna Binatang. Anggrek,mawar,aster,dan tulip berhiponim dengan Bunga. Sedangkan kucing,anjing,kambing, dan kuda berhiponim dengan Binatang.
Bunga  merupakan superordinat(hiperonim) bagi anggrek, mawar,aster,dan tulip. Sedangkan binatang menjadi superordinat bagi kucing,anjing,kambing, dan kuda.  Anggrek, mawar,aster,dan tulip merupakan Kohiponim bunga, demikian pula kucing,anjing,kambing, dan kuda merupakan kohiponim binatang.
6.         Polisemi
Polisemi lazim diartiakn sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki enam makna. Namur, makna – makna yang banyak dari sebuah kata yang polisemi itu masih ada sangkutpautnya dengan makna asal, karena dijabarkan dari komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut.
Persoalan lain yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa membedakannya dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaannya yang jelas adalah bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonimi ini bukan sebuah kata, maka maknanya pun berbeda.
Di dalam kamus bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagi entri-entri yang berbeda. Sebaliknya bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Karena polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Satu lagi perbedaan antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makan pada bentuk homonimi tidak ada kaitan atau hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lainnya.
Dalam Polisemi dilihat dari relasi gramatikalnya ada dua jenis relasi : relasi makna sintagmatis dan paradigmatis. Relasi makna sintagmatis  adalah relasi antarmakna kata dalam satu frasa atau kalimat(hubungan horizontal). Sebagai contoh adalah hubungan makna antara Saya,membaca, dan buku dalam kalimat Saya membaca buku. Dipihak lain, relasi makna paradigmatis adalah relasi antar makna kata yang dapat menduduki gatra sintaksis yang sama dan dapat saling menggantikan dalam satu konteks tertentu (hubungan vertikal). Seperti :
Saya membeli bunga………untuk hadiah ulang tahun pacar saya
                                    Mawar
                                    Anggrek
                                    Aster
                                    Tulip
Relasi makna antara kata mawar,anggrek, asterr,dan tulip merupakan relasi makna paradigmatis. Berbagai relasi makna paradigmatis dapat ditemui dalam relasi makna sinonimi,antonimi,hiponimi,meronimi.
7.         Meronimi
Meronimi adalah relasi makna yang memiliki kemiripan dengan hiponimi karena relasi maknanya bersifat hierarkis, namun tidak melibatkan penyiratan searah tetapi merupakan relasi makna bagiaan dengan keseluruhan. Contohnya adalah atap  bermeronimi dengan rumah.
Meronimi dapat dianalisis dengan bantuan X adalah bagian dari Y. Sinonimi,antonimi(oposisi), hiponimi, dan meronimi merupakan hubungan antarmakna kata dalam satu sistem bahasa.
8.         Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Konsep ini tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Polisemi dan ambiguitas memang sama-sama bermakna ganda. Hanya kalau kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena struktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi.
Perbedaan antara ambiguitas dan homonimi adalah homonimi dilihat sebagai dua bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Lagi pula ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan gramatikal.










DAFTAR PUSTAKA


Langkah Awal Memahami Linguistik : Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder
Semantik Bahasa Bali(sebuah Pengantar) : DR. Drs. I Gusti Putu Antara, M.pd
http://wahyudie86.blogspot.com/2010/10/relasi-makna-dan-perubahan-makna.html


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Basita Paribasa

Basita Paribasa Basitha Paribasa inggih punika basa rerasmen wiadin panglengut basa. Kanggen panglengut basa sajeroning mabebaosan kalih magegonjakan, sajeroning basa pakraman wiadin basa pasawitrayan. Sane ngranjing Basitha Paribasa minakadi : 1. Sesonggan. 2. Sesenggakan. 3. Wewangsalan. 4. Sloka. 5. Bebladbadan. 6. Pepindan 7. Sesawangan. 8. Cecimpedan. 9. Cecangkriman. 10. Sesimbing. 11. Cecangkitan. 12. Raos Ngempelin. 13. sasemon 14. Sipta. 15. Peparikan 16. Sesapan 17. Tetingkesan   1. Sesonggan. Sesonggan wit ipun saking kruna 'ungguh', sane mateges linggih, genah, wiadin nongos. Kruna ungguh polih paweweh merupa pangiring (akhiran) "an", dados ungguhan sane mateges janji utawi pati. Kruna ungguhan kasandiang (mengalami perubhan sandi suara) dados unggwan. Sajeroning pangucapan kruna unggwan puniki dados unggan. Selantuir ipun kruna unggan puniki polih pangater (awalan) "sa" dados saunggan, taler kasandiang malih dados songg...

PERBEDAAN BAHASA BALI KUNA, TENGAHAN, DAN BARU

Bahasa Bali Kuna a.       Pengertian Bahasa Bali Kuna Bahasa Bali kuna adalah nenek moyang bahasa Bali modern(Berata, 1993 dalam Suasta 2004:8). Bawa, dkk(1984/1985:21)dalam bukunya yang berjudul Studi Sejarah Bahasa Bali mengemukakan bahwa bahasa Bali kuna adalah bahsa Bali yang banyak terkena pengaruh bahasa sansekerta. Bahasa Bali kuna merupakan nama yg diberikan terhadap bahasa bali yang versinya yang kuna yang digunakan dalam sejumlah prasasti yang terbit di bali (Granoka dkk,1984:1). Hasil penelitian prasasti-prasasti oleh Stein Callefels(1926), dan Goris(1954) serta Soekarto K (1977) telah memberikan petunjuk yang cukup jelas bahwa bahasa Bali memiliki variasi yaitu variasi temporal yang berasal dari jaman Bali Kuna. Dan adanya versi inilah sebagai awal munculnya nama Bahasa Bali Kuna (dalam kajian Bahasa Bali Made Suasta 2004 : 8). Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa bahasa Bali kuna adalah bahasa bali tertua yang merupak...

Malajah Wilangan Bali

No. Angka Wilangan Angka Wilangan 1 10 Dasa 300 Telung atus 2 11 Solas 400 Samas 3 12 Roras 450 Samas seket 4 13 Telulas 475 Samas telung benang 5 14 Patbelas 500 Limang atus 6 15 Limolas 600 Telung atak / telung bangsit 7 16 Nembelas 700 Pitung atus 8 17 Pitulas 800 Domas 9 18 Plekutus 1000 Siu 10 19 Siangolas 1100 Siu satus 11 20 Duangdasa 1200 Nem bangsit 12 21 Selikur 1300 Siu telung atus 13 22 Dua likur 1400 Pitung bangsit 14 25 Selae 1500 Siu limang atus 15 28 Ululikur 1600 Sepeha 16 31 Telung dasa besik 1700 Siu ...