RELASI MAKNA
Relasi makna atau hubungan makna adalah hubungan kemaknaan
antara sebuah kata atau satuan bahasa (frase, klausa, kalimat) dengan kata atau
satuan bahasa lainnya. Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia,
seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara
sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya
lagi.Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna
(sinonimi), kebalikan makna (antonym), kegandaan makna (polisemi dan
ambiguitas), ketercakupan makna (hiponim), kelebihan makna (redundansi), dan
sebagainya. Berikut ini akan dibicarakan masalah tersebut satu per satu.
1. Sinonim
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa
Yunani kuno, yaitu anoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang
berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain
untuk benda atau hal yang sama’.Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan
sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang
lebih sama dengan makna ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek
adalah dua buah kata yang bersinonim ;bunga, kembang, dan puspa
adalah tiga buah kata yang bersinonom; mati, wafat, meninggal, dan mampus
adalah empat buah kata yang bersinonim.
Menurut
teori Verhaar yang sama tentu adalah informasinya ; padahal informasi ini bukan
makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat
intralingual. Atau kalau kita mengikuti teori analisis komponen yang sama
adalah bagian atau unsur tertentu saja dari makna itu yang sama. Misalnya kata mati
dan meninggal. Kata mati nemiliki komponen makna (1) tida
bernyawa (2) dapat dikenakan terhadap apa saja ( manusia, binatang, pohon,
dsb). Sedangkan meninggal memiliki komponen makna (1) tidak bernyawa.
(2) hanya dikenakan pada manusia. Maka dengan demikian kata mati dan meninggal
hanya bersinonim pada komponen makna (1) tidak bernyawa.Kerena itu, jelas bagi
kita kalau Ali, kucing, dan pohon bisa mati; tetapi
yang bisa meninggal hanya Ali. Sedangkan kucing dan pohon
tidak bisa.
Ketidak mungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata
lain yang bersinonim adalah banyak sebabnya, Antara lain,karena ;
(1) Faktor
waktu.Misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun,
keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang hanya cocok untuk
situasi kuno, klasik, atau arkais. Sedangkan kata komandan hanya cocok
untuk situasi masa kini (modern)
(2) Faktor tempat
atau daerah. Misalnya kata saya dan beta adalah bersinonim.
Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunakan dalan konteks pemakaian
bahasa Indonesia timur (Maluku) ; sedangkan kata saya dapat digunakan
secara umum di mana saja.
(3) Faktor Sosial.
Misalnya kata aku dan saya adalah dua buah kata yang
bersinonim; tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya
yang tidak dapat digunakan kepada orang yang lebih tua atau yang status
sosialnya lebih tinggi.
(4) Faktor bidang
kegiatan. Misalnya kata tasawuf, kebatinan, dan mistik adalah
tiga buah kata yang bersinonim. Namun kata tasawuf hanya lazim dalam
agama Islam; kata kebatinan untuk yang bukan islam; dan kata mistik
untuk semua agama.
(5) Faktor nuansa
makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau, dan mengintip
adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat memang bisa digunakan
secara umum; tetapi kata melirik hanya digunakan untuk menyatakan
melihat dengan sudut mata; kata melotot hanya digunakan untuk melihat
dengan mata terbuka lebar: kata meninjau hanya digunakan untuk melihat
dari tempat jauh atau tempat tinggi; dan kata mengintip hanya cocok
digunakan untuk melihat dari celah yang sempit.
Dalam beberapa
buku pelajaran bahasa sering dikatakan bahwa sinonim adalah persamaan kata atau
kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang tepat sebab selain
yang sama bukan maknanya, yang bersinonim pun bukan hanya kata, tetapi juga
banyak terjadiantara satuan-satuan bahasa lainnya. Perhatikan contoh berikut!
(a) Sinonim antar
morfem (bebas) dengan morfem terikat, seperti antara dia dengan nya,
antara saya dengan ku dalam kalimat
(1) Minta bantuan dia
Minta bantuannya
1. Bukan
teman saya
Bukan temanku
(b) Sinonim antar
kata dengan kata seperti antara mati dengan meninggal: antara
buruk dengan jelek.
(c) Sinoninm
antara kata dengan frase atau sebaliknya. Misalnya antara meninggal dengan
tutup usia:antara hamil dengan duduk perut.
(d) Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya, antara ayah ibu
dengan orang tua; antara meninggal dunia dengan pulang
ke rahmatullah.
(e) Sinonim antara kalimat dengan kalimat, seperti Adik menendang bola
dengan Bola ditendang adik. Kedua kalimat tersebut dianggap
bersinonim, yang pertama kalimat aktif dan yang kedua lalimat pasif.
Mengenai sinonim ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan. Pertama
tidak semuakata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim. Misalnya kata beras,
salju, batu dan kuning. Kedua ada kata-kata yang
bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Misalnya kata benar
bersinonim dengan kata betul; tetapi kata kebenaran tidak bersinonim
dengan kata kebetulan. Ketiga, ada kata-kata yang tidak mempunyai
sinonim pada bentuk dasar tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian. Misalnya
kata jemur tidak mempunyai sinonim tetapi kata menjemur ada
sinonimnya, yaitu mengeringkan; dan berjemur bersinonim
dengan berpanas. Keempat ada kata-kata yang dalam arti “sebenarnya”
tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim.
Misalnya kata hitam dalam makna “sebenarnya” tidak ada sinonimnya,
tetapi dalam arti “kiasan” ada sinonimnya yaitu gelap, mesum, buruk,
jahat dan tidak menentu.
2.
Antonimi dan Oposisi
Kata antonimi
berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’
dan anti yang artinya ‘melawan’. Maka secara harfiah maka antonim
berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik, Verhaar (1978)
mendefinisikan sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam
bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makan ungkapan
lain. Misalnya kata bagus adalah berantonim dengan kata buruk;
kata besar berantonim dengan kata kecil.
Contoh dalam bahasa Bali :
1.
Jele X melah
2.
Sugih X lacur
3.
Beler X jemet
4.
Suka X duka
5.
Joh X paak
Berdasarkan sifatnya, oposisi dapat
dibedakan menjadi:
2.1
Oposisi Mutlak
Di sini terdapat pertentangan makna secara
mutlak. Umpamanya antara kata hidup dan mati. Antara hidup
dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu yang hidup tentu
tidak (belum) mati; sedangkan sesuatu yang mati tentu sudah
tidak hidup lagi.
2.2
Oposisi Kutub
Makna
kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat
mutlak, melainkan bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada
kata-kata tersebut, misalnya, kata kaya dan miskin adalah dua
buah kata yang beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan miskain
tidak mutlak orang yang tidak kaya belum tentu meras miskin,
dan begitu juga orang yang tidak miskin belum tentu merasa kaya.
Kata-kata
yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif, seperti
jauh-dekat, panjang-pendek, tinggi-rendah, terang-gelap, dan luas-sempit.
2.3
Oposisi Hubungan
Makna kata
yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya,
kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi oposisinya.
Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Umpamanya kata menjual
beroposisi dengan kata membeli. Kata menjual dan membeli
walaupun maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya berlaku serempak.proses
menjual dan proses membeli terjadi pada waktu yang bersamaan,
sehingga bisa dikatakan tak akan ada proses menjual jika tak ada
proses membeli.
Kata-kata
yang beroposisi hubungan ini bisa berupa kata kerja seperti mundur-maju,
pulang-pergi, pasang-surut, memberi-menerima, belajar- mengajar, dan
sebagainaya. Selain itu, bisa pula
berupa kata benda, seperti ayah- ibu, guru-murid, atas-bawah,
utara-selatan, buruh-majikan, dan sebagainya.
2.4
Oposisi Hierarki
Makna kata-kata
yang beroposisi hierarkial ini mengatakan suatu deret jenjeng atau tingkatan.
Oleh karena itu kata-kata yang beropossisi hierarkial ini adalah kata-kata yang
berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan dan
penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Umpamanya kata meter
beroposisi hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam
deretan nama satuan yang menyatakan ukuran panjang. Kata kuintal dan ton
beroposisi secara hierarkial karena keduanya berada dalam satuan ukuran
yang menyatakan berat.
2.5
Oposisi Majemuk
Selama ini
yang dibicarakan adalah oposisi diantara dua buah kata, seperti mati-hidup,
menjual-membeli, jauh-dekat, prajurit-opsir. Namun, dalam pembedaharaan
kata Indonesia ada kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari sebuah kata.
Misalnya kata berdiri bisa
beroposisi dengan kata duduk, dengan kata berbaring, dengan
kata berjongkok. Keadaan seperti ini lazim disebut dengan kata istilah
oposisi majemuk. Jadi:
duduk
berbaring
berdiri x tiarap
berjongkok
Contoh lain, kata diam
yang dapat beroposisi dengan kata berbicara, bergerak,
dan bekerja.
3. Homonimi, Homofoni, Homograf
Kata homonimi
berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo
yang artinya ‘sama’. Secara rafia homonimi dapat diartikan sebagi “nama
sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi
definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang
bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa atau kalimat) tetapi
maknanya tidak sama. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua
arah.
Hal-hal yang
menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk homonimi, yaitu:
1.
bentuk-bentuk
yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau diales yang berlainan.
2.
bentuk-bentuk
yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologi.
Hominimi dan sinonimi dapat terjadi pada
tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
1. Homonimi antar morfem, tentunya terjadi
antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya.
2. homonimi antar kata, terjadi antara
sebuah kata dengan kata lainnya. Misalnya antara kata bisa yang
berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup, atau dapat’.
3. homonimi antar frase, misalnya antara
frase cinta anak yang berarti ‘perasaan cinta dari seorang anak lepada
ibunya’ dan frase cinta anak yang berarti ‘cinta lepada anak dari
seorang ibu’.
4. homonimi antar kalimat, misalnya antara
Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti ‘lurah yang baru
diangkat itu mempunyai istri yang cantik’, atau ‘lurah itu baru menikah lagi
dengan seorang wanita yang cantik’.
Disamping homonimi ada pula istilah homofoni
dan homogfari. Homofoni dilihat dari segi “bunyi”
(homo=sama, fon=bunyi), contoh homofoni :
1. Bank (tempat menyimpan uang) = bang
(panggilan)
2. Song(lubang) = song (lagu)
sedangkan homografi dilihat dari
segi “tulisan, ejaan” (homo=sama, grafo=tulisan).contohnya :
1. tahu (paham) = tahu (makan)
2. buku( kitab) = (pertemuan ruas)
Homofoni sebetulnya sama saja dengan
homonimi karena realisasi bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi. Namun,
dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon tetapi ditulis dengan
ejan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna.
4. Hiponimi dan Hipernimi
Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani
kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hypo berarti “di bawah’.
Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara
semantik, Verhaar (1978: 137) menyatakan hiponim ahÃla ungkapan (biasanya
berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya
dianggap merupakan bagian dari makna statu ungkapan lain.
Kalau relasi antara dua buah kata yang
bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah, maka relasi anatar
dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan
adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di
bawah makna kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang
merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap
kata lain yang hierarkial berada di atasnya. Konsep hiponimi dan hipernimi
mudah diterapkan pada kata benda tapi agak sukar pada kata verja atau kata
sifat.
5. Polisemi
Polisemi lazim diartiakn sebagai satuan
bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu.
Umpamanya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki enam makna.
Namur, makna –makna yang banyak dari sebuah kata yang polisemi itu masih ada
sangkutpautnya dengan makna asal, karena dijabarkan dari komponen makna yang
ada pada makna asal kata tersebut.
Persoalan lain
yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa membedakannya
dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaannya yang jelas adalah
bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata aatu lebih yang
kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonimi ini bukan sebuah kata,
maka maknanya pun berbeda.
Di dalam kamus
bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagi entri-entri yang berbeda.
Sebaliknya bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih
dari satu. Karena polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalam kamus
didaftarkan sebagai sebuah entri. Satu lagi perbedaan antara homonimi dan
polisemi, yaitu makna-makan pada bentuk homonimi tidak ada kaitan atau
hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lainnya.
6.
Ambiguitas
Ambiguitas atau
ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti.
Konsep ini tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan
dengan polisemi. Polisemi dan ambiguitas memang sama-sama bermakna ganda. Hanya
kalau kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan
makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu
frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal
yang berbeda. Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan
terjadi karena struktur gramatical itu dibantu oleh unsur intonasi.
Perbedaan antara
ambiguitas dan homonimi adalah homonimi dilihat sebagai dua bentuk yang
kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah
sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya
penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Lagi pula ambiguitas hanya terjadi
pada satuan frase dan kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua
satuan gramatikal.
7.
Redudansi
Istilah redudansi
sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam
statu bentuk ujaran. Secara semantik masalah redudansi sebetulnya tidak ada,
sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna
pun akan berbeda. Makna adalah statu fenomena dalam ujaran (utterance,
internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterance-external).
DAFTAR
PUSTAKA
http://wahyudie86.blogspot.com/2010/10/relasi-makna-dan-perubahan-makna.html
Antara, IGP. 2008. Kosa
Basa Bali. Singaraja : Jurusan Pendidikan Bahasa Bali Fakultas Bahasa
Dan Seni UNDIKSA.
Komentar
Posting Komentar